Manusia memiliki sifat ingin
tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut disebut
pengetahuan.Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) , yaitu pengetahuan indera,
pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Istilah “pengetahuan”
tidak sama dengan “ilmu pengetahuan”. Pengetahuan seorang manusia dapat berasal
dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu
adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta
ilmu juga bersifat universal.
Filsafat hukum merupakan
suatu cabang filsafat yang memilih hukum sebagai objek penyelidikannya, yang
selanjutnya dipahami secara mendalam. Karena filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum.
Menurut Soetikno[1],
filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang
ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, postulat sampai
pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Dalam mempelajari filsafat
hukum alangkah baiknya jika ditinjau dari sejarah serta perkembangan terlebih
dahulu. Sebab sejarah filsafat hukum dari abad Yunani sampai abad sekarang ini
teorinya berbeda-beda. Dengan mengetahui sejarah dan perkembangannya kita akan
lebih banyak mengetahui pandangan para filsuf dari satu abad hingga ke abad
lainnya.
Dari sejarah filsafat hukum
dapat dipelajari bahwa pada zaman dulu hukum alam sering kali dianggap sebagai
hukum yang sah. Pada zaman Yunani-Romawi hukum alam disamakan dengan
prinsip-prinsip suatu aturan ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam
pandangan filsuf Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles dan Stoa hukum
ditanggapi sebagai pernyataan dari Tuhan.
Pada abad pertengahan hukum
diartikan sebagai pernyataan kehendak Tuhan dengan alam dan dengan manusia.
Sedangkan pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang menerima suatu hukum alam
memandangnya sebagai norma bagi hukum positif. Pandangan zaman Yunani-Romawai
tentang hukum alam sangat berbeda dengan zaman sekarang yang berhubung hak-hak
manusia. Zaman dulu hak-hak itu belum diakui sama sekali, bahkan juga dilanggar
umpamanya perbudakan.
Pada zaman sekarang
bertambahlah kesadaran bahwa hukum harus dikaitkan dengan keadilan supaya dapat
dipandang hukum. Atau dengan kata-kata lain bahwa orang makin yakin bahwa hukum
positif harus menurut norma-norma yang tertentu yakni prinsip-prinsip keadilan.
Thomas
Aquinas membedakan keadilan dalam tiga bagian diantaranya :
· Keadilan distributif : yang menyangkut hal umum.
· Keadilan tukar menukar : yang menyangkut barang yang ditukar.
· Keadilan legal : yang menyangkut keseluruhan hukum.
Andang L. Binawan
pernah menegaskan, bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda,
walaupun tidak bisa dipisahkan. (Binawan, 2004) Keadilan adalah sebuah
cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum adalah
ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan.[2]
Oleh karena itu
di satu sisi, hukum harus cukup detil menampung semua aspek dari kehidupan
manusia yang perlu untuk diatur guna mencegah terjadinya kerugian sosial (social
lost). Di sisi lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa ditafsirkan
dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi daripada
pasal-pasal hukum itu sendiri. Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait
dengan pemberantasan korupsi menunjukkan kurangnya otoritas hukum yang berlaku
(kurang detil di dalam penerapan pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan
seorang nenek berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao untuk ditanam
sungguh mengganggu rasa keadilan masyarakat (hukum tidak mengacu pada
prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi).
Penilaian hukum dan
keadilan itu relatif, karena jika diterapkan secara ketat sesuai dengan rumusan
yang ada, maka kemungkinan besar akan melanggar rasa keadilan yang ada di
masyarakat. Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum demi
penyesuaian terhadap rasa keadilan masyarakat, hukum pun menjadi tidak berguna,
karena ia tidak lagi memiliki otoritas untuk dipatuhi.
Hukum yang ideal
adalah hukum yang berada di titik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran
secara ketat dengan mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan
(moralitas dan norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil).
Keadilan berkaitan erat dengan
pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah
Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir
dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap
untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
dan tuntutan jaman
Menurut Immanuel Kant bahwa diperlukan bagi
menuju suatu keadilan adalah dengan yang yang namanya “prejuridical society” (masyarakat hukum). “Prejuridical society” yang diandaikan Kant adalah menuntut bahwa
pelaksanaan hak (hukum) harus disertai dengan kesediaan memikul kewajiban dan
tanggungjawab demi kebaikan bersama. Tanggungjawab ini muncul bukan karena
warga negara memiliki kewajiban moral natural terhadap Negara. Individu tidak
memiliki moral natural terhadap Negara, tetapi pertama-tama dan terutama karena
setiap warga Negara atau individu memiliki tanggungjawab moral natural terhadap
sesama, yakni kewajiban bukan saja untuk tidak merugikan, tetapi lebih dari
itu, melakukan sesuatu demi pemenuhan hak-hak sesama.[3]
Masyarakat
hukum dan Negara hukum inilah yang bisa memberikan “jaminan hukum” bahwa hukum
dibangun memang untuk menegakkan keadilan. Bukan untuk membuka
kesewenang-wenangan dan kemunafikan. Tetapi membuka jalan kebahagiaan dan
ketentraman. Karena tanpa keadilan, maka hukum
hanya akan terperosok menjadi alat pembenaran kesewenang-wenangan mayoritas
atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai.
Tata
rakit antara filsafat, hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother
of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari
belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk
mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat tak pernah selesai, tidak
pernah berakhir karena filsafat tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak
terbatas objeknya, namun filsafat tetap setia kepada metodenya sendiri dengan
menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan,
jadi benar filsafat ilmu tanpa batas. Filsafat memiliki objek, metode, dan
sistematika yang bersifat universal.
Rasa keadilan harus diberlakukan dalam
setiap lini kehidupan manusia yang terkait dengan masalah hukum, sebab hukum
terutama filsafat hukum menghendaki tujuan hukum tercapai yaitu[4]:
1. Mengatur
pergaulan hidup secara damai.
2. Mewujudkan
suatu keadilan.
3. Tercapainya
keadilan berasaskan kepentingan, tujuan dan kegunaan, kemanfaatan dalam hidup
bersama.
4. Menciptakan
suatu kondisi masyarakat yang tertib, aman dan damai.
5. Hukum
melindungi setiap kepentingan manusia di dalam masyarakat, sesuai dengan hukum
yang berlaku, sehingga terwujud kepastian hukum (rechmatigkeit)
dan jaminan hukum (Doelmatigkeit).
6. Meningkatkan
kesejahteraan umum (populi)
dan mampu memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan seluruh anggota
masyarakat serta memberikan kebahagiaan secara optimal kepada sebanyak mungkin
orang, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya (utilitarianisme).
7.
Mempertahankan kedamaian
dalam masyarakat atas dasar kebersamaan sehingga terwujud perkembangan pribadi
atas kemauan dan kekuasaan, sehingga terwujud pemenuhan kebutuhan manusia
secara maksimal” dengan memadukan tata hubungan filsafat, hukum, dan keadilan.
Penjabaran fungsi filsafat hukum terhadap
permasalahan keadilan merupakan hal yang sangat fundamental karena keadilan
merupakan salah satu tujuan dari hukum yang diterapkan pada Hukum Positif.
Hukum merupakan alat untuk mengelola masyarakat (Law
as a tool of social engineering, menurut Roscoe
Pound), pembangunan, penyempurna kehidupan bangsa, negara dan masyarakat demi
terwujudnya rasa keadilan bagi setiap individu, yang berdampak positif bagi
terwujudnya “kesadaran hukum”. Ini merupakan cara untuk menjabarkan fungsi
hukum yang masih relevan dengan kehidupan peraturan-perundang-undangan yang
berlaku (Hukum Positif).
[1] Definisi Filsafat Hukum. http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/definisi-filsafat-hukum.html.
(diakses pada 9 Januari 2011)
[2] Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan.
Reza A. Wattimena. http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/261.
(Diakses pada 10 Januari 2011)
[3] Membangun Hukum, Membela
Keadilan. Muhammadun AS. http://kampus.mitrahukum.org/?p=147.
(Diakses pada 9 Januari 2011)
[4] Fungsi dan Relevansi Filsafat
Hukum Bagi Rasa Keadilan dalam Hukum Positif. R.Arry Mth. Soekowathy. http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/16/13.
(Diakses pada 10 Januari 2011)