OPTIMALISASI KUALITAS
KINERJA TERHADAP PENGAWASAN
PENYELENGGARAAN ASAS DESENTRALISASI DALAM
PEMERINTAH DAERAH
BAB
I
1.1 Latar
Belakang
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan
menguruskepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri"
atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah"
adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".[2] Dengan
demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah
"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola
untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang
lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang
mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan
perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang
sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi
daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana,
kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam
berorganisasi. Dengan adanya suatu sistem otonomi ini, maka pemerintah daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi daerah itu
sendiri. Selain itu, diatur juga pokok-pokok penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentralisasi, dan asas tugas
pembantuan.[3]
Kerangka desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam
paket UU No 22/1999 (Paska amandemen menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah) dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (di
amandemen menjadi UU No 33 tahun 2004) memiliki dua dimensi dasar. Dimensi
tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang
diinginkan policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU
No 32/2004 menitik-beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi
administratif (administrative decentralization).[4]
Desentralisasi
administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan
sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai
level pemerintah. Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan,
pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan
lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional
authorities).
Namun, dalam implementasinya otonomi daerah masih belum
berjalan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus – kasus
penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah.
Salah satu contohnya dalah kasus korupsi di Sumatera Selatan yaitu tentang kasus
korupsi pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air telang, Sumatera Selatan
oleh Syahrial Oesman.
Melihat
adanya kasus tersebut, maka penulis ingin menganalisis dan memberikan solusi
terhadap adanya system otonomi daerah yang mengalami penyimpangan dalam
penyelenggaraannya. Dan kami akan membahasnya dalam makalah kami yang berjudul
“optimalisasi kualitas kinerja
terhadap pengawasan penyelenggaraan asas desentralisasi dalam pemerintah daerah ”
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana penerapan asas desentralisasi
pemerintahan daerah?
2.
Bagaimana optimalisasi kinerja terhadap pengawasan penyelenggaraan asas desentralisasi
dalam pemerintah daerah?
BAB II
2.1
Pembahasan
2.1.1 Penerapan Asas Desentralisasi Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas
penyelenggaraan Negara yang bersih tersebut. Asas umum penyelenggaraan Negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 meliputi:
1.
Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan.
2.
Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan Negara.
3.
Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif.
4.
Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
5.
Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
6.
Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.[5]
Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 selain menerapkan
asas-asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu kepentingan umum, asas
efektif, dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
·
Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga
menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
·
Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
·
Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas
yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan
kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang
member tugas.
Asas desentralisasi yang telah diterapkan kepada pemerintahan daerah
seharusnya memberikan dampak positif dengan tujuan untuk membentuk suatu
pemerintahan yang baik (good governance). Namun, dalam implementasinya
asas desentralisasi ini masih banyak mengalami penyimpangan. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah
kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama
sebagaimana tercermin dalam UU No 32/2004 menitik-beratkan pada apa yang sering
disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization).[6]
Desentralisasi
administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan
sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai
level pemerintah. Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan
dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya
kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
Pelaksanaan
desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa
pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan
kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin
dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin
bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain,
desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan
efektifitas pelayanan umum.
Dimensi
desentralisasi administratif sebagaimana telah disebutkan diatas dalam konsep
desentralisasi di Indonesia sangat menekankan pada kewenangan pemerintah daerah
untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara otonom untuk memenuhi
permintaan layanan (services demand) dari masyarakat. Pendek kata, pusat
atau lokus dari desentralisasi administratif dan keuangan adalah pada pemberian
otoritas kepada Pemerintah Daerah.
Partisipasi perlu dilihat sebagai meningkatnya peran
masyarakat dalam memilih pemimpin mereka (proses politik lokal) dan meminta
mereka melaksanakan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara accountability
dapat diterjemahkan sebagai penjelasan atas keberhasilan atau kegagalan
penyelenggaraan pemerintahan lokal kepada masyarakat.[7]
Robert Klitgaard,
seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan rumus sederhana untuk
mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan
monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk
mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban.[8]
Dengan kata lain, unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu
menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi. Konsepsi
desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada
akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan
untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap
sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan
terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Menurut
TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya
desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi
daerah hanya terfokus pada pelimpahan
wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat
ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata
lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang
membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah.
Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal
untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap
korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak
ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang
di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan,
sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada
lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah
kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota,
tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan
kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan
pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy
guidance kepada pemerintah daerah.
Ketiga, legislatif
gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya
terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga control
terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol
dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa
adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi
kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan
adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi
antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk
melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat
tidak diwujudkan.
Menurut data ICW
(Indonesian Cooruption Watch) bahwa terdapat beberapa kasus korupsi yang
terjadi di berbagai belahan daerah Indonesia. Contohnya adalah adanya dugaan
korupsi di daerah Sumatera Selatan oleh Syahrial Oesman tentang kasus korupsi
pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air telang, Sumatera Selatan.
2.1.2
Optimalisasi Kinerja Terhadap Pengawasan Penyelenggaraan Asas Desentralisasi
Pemerintah di Daerah
Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah
terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dalam hal pengawasan terhadap
rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan dua cara
sebagai berikut:
a.
Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah
yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi
daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu
dieavaluasi oleh menteri dalam negeri untuk raperda provinsi, dan oleh gubernur
terhadap raperda kabupaten atau kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan
tentang hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna secara optimal.
b.
Pengawasan terhadap semua peraturan daerah diluar
yang termuat di atasnya, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada
menteri dalam negeri untuk propinsi dan gubernur untuk kabupaten atau kota,
untuk memperoleh klarifikasi, terhadap peraturan daerah yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai
mekanisme yang berlaku.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan
sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepala
pemerintah daerah. Di samping itu, penyelenggaraaan urusan pemerintahan seperti
di atas pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagin urusan pemerintahan
atau menugaskan sebagian urusan pemerintah daerah berdasarkan asas tugas pembantuan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi dalam criteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan, sebagai suatu system antara hubungan kewenangan pemerintah,
kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yakni terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib artinya penyelenggaraan
pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan
secara bertahap, dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintah
yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan,
dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Untuk meningkatkan kualitas pengawasan pemerintahan di daerah
diperlukan berbagai upaya agar tercipta suatu kondisi pemerintahan yang baik.
Dengan adanya asas desentralisasi suatu daerah kemungkinan juga akan terjadi
suatu masalah sehingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan. Namun, dalam
penulisan makalah ini penulis ingin memberikan suatu alternative solusi yang
nantinya dapat digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan
yang terorganisir. Cara-cara tersebut antara lain :
1.
Adanya transparansi system pengawasan
penyelenggaraan daerah. System ini dititikberatkan pada pengawasan keuangan
yang terjadi di pemerintahan daerah. Dan lebih memperkuat hubungan antara
pemerintaha dengan pemerintah daerah khususnya dalam hal keuangan seperti
pemberian sumber-sumber keuangan, pengalokasian dana perimbangan, dan pemberian
pinjaman dan/atau hibah. Dengan adanya keseimbangan di dalam sector tersebut
maka akan terwujud suatu good governance.
2.
Adanya birokrasi yang tidak berbelit-belit terkait
dengan penyelenggaraan system pemerintahan daerah. Adanya hubungan antara
pemerintah daerah dengan masyarakat juga sangat diperlukan seperti dalam hal
pelayanan umum, pelestarian, serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada.
Sehingga penyelenggaraan pelaksanaan pemerintah daerah terwujud dengan baik dan
terwujud masyarakat yang sejahtera.
Pengoptimalan yang kami paparkan di atas merupakan upaya untuk
meminimalisasikan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Selain
itu diperlukan juga koordinasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah
daerah dalam menjalankan tugas pemerintahan daerah yang dituangkan dalam
Undang-Undang.
BAB III
3.1
Kesimpulan
Dari
hasil analisis penulis di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004
selain menerapkan asas-asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu
kepentingan umum, asas efektif, dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
1.
Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga
menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
2.
Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
3.
Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas
yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan
kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang
member tugas.
2. Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai
upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi
tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan
berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada
berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
3. Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi
penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama,
program otonomi daerah hanya terfokus pada
pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi
dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada
masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol
secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah
memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol
pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara
langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Ketiga,
legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol.
Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD
sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi,
sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.
4. solusi
yang nantinya dapat digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan-penyimpangan yang terorganisir. Cara-cara tersebut antara lain :
~Adanya transparansi system pengawasan penyelenggaraan daerah. System
ini dititikberatkan pada pengawasan keuangan yang terjadi di pemerintahan
daerah. Dan lebih memperkuat hubungan antara pemerintaha dengan pemerintah daerah
khususnya dalam hal keuangan seperti pemberian sumber-sumber keuangan,
pengalokasian dana perimbangan, dan pemberian pinjaman dan/atau hibah. Dengan
adanya keseimbangan di dalam sector tersebut maka akan terwujud suatu good
governance.
~Adanya birokrasi yang tidak berbelit-belit terkait dengan
penyelenggaraan system pemerintahan daerah. Adanya hubungan antara pemerintah
daerah dengan masyarakat juga sangat diperlukan seperti dalam hal pelayanan
umum, pelestarian, serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Sehingga
penyelenggaraan pelaksanaan pemerintah daerah terwujud dengan baik dan terwujud
masyarakat yang sejahtera.
3.2
Saran
Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan yaitu:
Seyogyanyalah
pemerintah khususnya pemerintahan daerah lebih mengutaman adanaya transparansi
dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah sehingga dapat memperkecil kemungkinan adanya tindakan penyalahgunaan
pengawasan.
Bagi
masyarakat seyogyanya ikut berpartisipasi akti dalam penyelenggraan
pemerintahan daerah sehingga kasus penyalahgunaan seperti korupsi di daerah
dapat cepat teratasi.
BAB IV
4.1
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang
Pemerintahan Daerah.
2. Buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pemerintahan
Daerah di Indonesia,hukum administrasi daerah Prof C.S.T. Kansil
Robert
Klitgaard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”, Yayasan
Obor Indonesia: 2002, hal. 29.
Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sunarso Siswanto,
2008,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.33.
3. Internet
Decentralization
Thematic Team, “What is Decentralization?”, World Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html
http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/admin.htm#4
[1] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1
ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[3] Pemerintahan Daerah di Indonesia,hukum administrasi daerah
Prof C.S.T. Kansil
[4] Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World
Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html
[5] HUkum Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Sunarso Siswanto, 2008,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.33.
[6]
Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World
Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html.
[7] http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/admin.htm#4
[8]
Robert Klitgaard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan
Daerah”, Yayasan Obor
Indonesia: 2002, hal. 29.
dipermudah lagi dan di urutkan
BalasHapus