BISNIS ONLINE TERMURAH HANYA 10 RIBU RUPIAH!

Sabtu, 06 Oktober 2012

MAKALAH HUKUM ADMINSTRASI DAERAH



OPTIMALISASI KUALITAS KINERJA  TERHADAP PENGAWASAN PENYELENGGARAAN ASAS DESENTRALISASI DALAM  PEMERINTAH DAERAH


BAB I
1.1  Latar Belakang
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1] Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".[2] Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Dengan adanya suatu sistem otonomi ini, maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi daerah itu sendiri. Selain itu, diatur juga pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentralisasi, dan asas tugas pembantuan.[3]
Kerangka desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam paket UU No 22/1999 (Paska amandemen menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (di amandemen menjadi UU No 33 tahun 2004) memiliki dua dimensi dasar. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU No 32/2004 menitik-beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization).[4]
Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
            Namun, dalam implementasinya otonomi daerah masih belum berjalan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus – kasus penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah. Salah satu contohnya dalah kasus korupsi di Sumatera Selatan yaitu tentang  kasus korupsi pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air telang, Sumatera Selatan oleh Syahrial Oesman.
            Melihat adanya kasus tersebut, maka penulis ingin menganalisis dan memberikan solusi terhadap adanya system otonomi daerah yang mengalami penyimpangan dalam penyelenggaraannya. Dan kami akan membahasnya dalam makalah kami yang berjudul “optimalisasi kualitas kinerja  terhadap pengawasan penyelenggaraan asas desentralisasi dalam  pemerintah daerah

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penerapan asas desentralisasi pemerintahan daerah?
2.      Bagaimana optimalisasi kinerja terhadap pengawasan penyelenggaraan asas desentralisasi dalam  pemerintah daerah?




BAB II
2.1              Pembahasan
2.1.1 Penerapan Asas Desentralisasi Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas penyelenggaraan Negara yang bersih tersebut. Asas umum penyelenggaraan Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 meliputi:
1.      Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
2.      Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.
3.      Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
4.      Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
5.      Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.      Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.[5]
Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 selain menerapkan asas-asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu kepentingan umum, asas efektif, dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
·         Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
·         Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
·         Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang member tugas.
Asas desentralisasi yang telah diterapkan kepada pemerintahan daerah seharusnya memberikan dampak positif dengan tujuan untuk membentuk suatu pemerintahan yang baik (good governance). Namun, dalam implementasinya asas desentralisasi ini masih banyak mengalami penyimpangan. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU No 32/2004 menitik-beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization).[6]
Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum.
Dimensi desentralisasi administratif sebagaimana telah disebutkan diatas dalam konsep desentralisasi di Indonesia sangat menekankan pada kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara otonom untuk memenuhi permintaan layanan (services demand) dari masyarakat. Pendek kata, pusat atau lokus dari desentralisasi administratif dan keuangan adalah pada pemberian otoritas kepada Pemerintah Daerah.
Partisipasi perlu dilihat sebagai meningkatnya peran masyarakat dalam memilih pemimpin mereka (proses politik lokal) dan meminta mereka melaksanakan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara accountability dapat diterjemahkan sebagai penjelasan atas keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan lokal kepada masyarakat.[7]
Robert Klitgaard, seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan rumus sederhana untuk mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban.[8] Dengan kata lain, unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi. Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
            Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada  pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Menurut data ICW (Indonesian Cooruption Watch) bahwa terdapat beberapa kasus korupsi yang terjadi di berbagai belahan daerah Indonesia. Contohnya adalah adanya dugaan korupsi di daerah Sumatera Selatan oleh Syahrial Oesman tentang kasus korupsi pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air telang, Sumatera Selatan.

2.1.2 Optimalisasi Kinerja Terhadap Pengawasan Penyelenggaraan Asas Desentralisasi Pemerintah di Daerah
            Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut:
a.       Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dieavaluasi oleh menteri dalam negeri untuk raperda provinsi, dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten atau kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna secara optimal.
b.      Pengawasan terhadap semua peraturan daerah diluar yang termuat di atasnya, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri untuk propinsi dan gubernur untuk kabupaten atau kota, untuk memperoleh klarifikasi, terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepala pemerintah daerah. Di samping itu, penyelenggaraaan urusan pemerintahan seperti di atas pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagin urusan pemerintahan atau menugaskan sebagian urusan pemerintah daerah berdasarkan asas tugas pembantuan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi dalam  criteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan, sebagai suatu system antara hubungan kewenangan pemerintah, kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yakni terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib artinya penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan ditetapkan oleh pemerintah. Adapun untuk urusan pemerintah yang bersifat pilihan, baik untuk pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Untuk meningkatkan kualitas pengawasan pemerintahan di daerah diperlukan berbagai upaya agar tercipta suatu kondisi pemerintahan yang baik. Dengan adanya asas desentralisasi suatu daerah kemungkinan juga akan terjadi suatu masalah sehingga menyebabkan penyimpangan-penyimpangan. Namun, dalam penulisan makalah ini penulis ingin memberikan suatu alternative solusi yang nantinya dapat digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan yang terorganisir. Cara-cara tersebut antara lain :
1.      Adanya transparansi system pengawasan penyelenggaraan daerah. System ini dititikberatkan pada pengawasan keuangan yang terjadi di pemerintahan daerah. Dan lebih memperkuat hubungan antara pemerintaha dengan pemerintah daerah khususnya dalam hal keuangan seperti pemberian sumber-sumber keuangan, pengalokasian dana perimbangan, dan pemberian pinjaman dan/atau hibah. Dengan adanya keseimbangan di dalam sector tersebut maka akan terwujud suatu good governance.
2.      Adanya birokrasi yang tidak berbelit-belit terkait dengan penyelenggaraan system pemerintahan daerah. Adanya hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat juga sangat diperlukan seperti dalam hal pelayanan umum, pelestarian, serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Sehingga penyelenggaraan pelaksanaan pemerintah daerah terwujud dengan baik dan terwujud masyarakat yang sejahtera.   
Pengoptimalan yang kami paparkan di atas merupakan upaya untuk meminimalisasikan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Selain itu diperlukan juga koordinasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang.





BAB III
3.1 Kesimpulan
            Dari hasil analisis penulis di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 selain menerapkan asas-asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu kepentingan umum, asas efektif, dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
1.      Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
2.      Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
3.      Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang member tugas.
2. Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
3.  Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada  pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.
4.   solusi yang nantinya dapat digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan yang terorganisir. Cara-cara tersebut antara lain :
~Adanya transparansi system pengawasan penyelenggaraan daerah. System ini dititikberatkan pada pengawasan keuangan yang terjadi di pemerintahan daerah. Dan lebih memperkuat hubungan antara pemerintaha dengan pemerintah daerah khususnya dalam hal keuangan seperti pemberian sumber-sumber keuangan, pengalokasian dana perimbangan, dan pemberian pinjaman dan/atau hibah. Dengan adanya keseimbangan di dalam sector tersebut maka akan terwujud suatu good governance.
~Adanya birokrasi yang tidak berbelit-belit terkait dengan penyelenggaraan system pemerintahan daerah. Adanya hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat juga sangat diperlukan seperti dalam hal pelayanan umum, pelestarian, serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Sehingga penyelenggaraan pelaksanaan pemerintah daerah terwujud dengan baik dan terwujud masyarakat yang sejahtera.           


3.2 Saran
            Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan yaitu:
            Seyogyanyalah pemerintah khususnya pemerintahan daerah lebih mengutaman adanaya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan  di daerah sehingga dapat memperkecil kemungkinan adanya tindakan penyalahgunaan pengawasan.
            Bagi masyarakat seyogyanya ikut berpartisipasi akti dalam penyelenggraan pemerintahan daerah sehingga kasus penyalahgunaan seperti korupsi di daerah dapat cepat teratasi.



BAB IV
4.1 Daftar Pustaka

1.      Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah.

2.      Buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pemerintahan  Daerah di Indonesia,hukum administrasi daerah Prof C.S.T. Kansil
Robert Klitgaard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”, Yayasan Obor Indonesia: 2002, hal. 29.
Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sunarso Siswanto, 2008,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.33.

3.      Internet
Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html
http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/admin.htm#4


[1] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[3] Pemerintahan  Daerah di Indonesia,hukum administrasi daerah Prof C.S.T. Kansil
[4] Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html
[5] HUkum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sunarso Siswanto, 2008,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.33.
[6] Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html.
[7] http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/admin.htm#4
[8] Robert Klitgaard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah”, Yayasan Obor
Indonesia: 2002, hal. 29.

1 komentar:

Komentar harap diisi, baik buruk komentar anda membantu kami untu evaluasi ke depannya. :)