“JALAN TERJAL ICC DALAM UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN BAGI SELURUH DUNIA ”
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang
Menjelang akhir
abad yang sangat berdarah dalam perjalanan sejarah manusia, komunitas internasional
bersama-sama mengadopsi sebuah treaty
yang membentuk sebuah pengadilan pertama dalam sejarah yang independen dan
permanen. Pengadilan tersebut saat ini telah menjadi kenyataan yang disebut
sebagai International Criminal Court (ICC). Keberadaan International
Criminal Court (ICC) bermula pada 1937 yang dikhususkan untuk para teroris
international yang diprakarsai oleh Liga Bangsa Bangsa (League of Nations).
Ide pembentukan ICC ditujukan untuk gerakan melawan terorisme internasional
yang berdasarkan Genocida Conventioan tahun 1948 yang wajib dibawa ke
pengadilan pidana Internasional. ICC memiliki kemampuan untuk untuk melakukan
investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), genosida (genocide), dan
kejahatan perang (crime of war). ICC sifatnya melengkapi keberadaaan sistem
peradilan nasional sebuah negara dan akan melangkah hanya jika pengadilan
nasional sebuah negara tidak memiliki kemauan atau tidak mampu untuk
menginvestigasi dan menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi tersebut. ICC
juga akan membantu untuk mempertahankan hak-hak perempuan dan anak-anak yang
bisanya memiliki kekuatan yang sangat kecil untuk mempertahankan hak-haknya
untuk mendapat keadilan.
Statuta yang
menjadi dasar berdirinya ICC, Statuta Roma, diadopsi pada konferensi
internasional yang disponsori oleh PBB di Roma pada tanggal 17 Juli 1998.
Setelah melangsungkan pembahasan mendalam selama 5 minggu, 120 negara
menyatakan pendiriannya untuk mengadopsi statuta tersebut. Hanya 7 negara
menolak untuk mengadopsi statuta tersebut. Mereka adalah Cina, Israel, Iraq,
Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat (AS). Sementara 21 negara abstain
dalam pemungutan suara. Seratus tiga puluh sembilan negara berikutnya
menandatangani treaty tersebut pada tanggal 31 Desember 2000. Selanjutnya pada
tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi treaty tentang Statuta Roma. Dengan diratifikasinya treaty ini oleh 66 negara maka telah
melewati batas minimal sebanyak 60 negara yang menjadi syarat dapat berlakunya
sebuah treaty. Pengadilan ini memulai
bekerja sejak tanggal 1 Juli 2002. Pada tanggal 19 September 2002 sebanyak 81
negara telah meratifikasi treaty
tentang Statuta Roma.
Sebagaimana
didefinisikan oleh beberapa persetujuan internasional, terutama Rome
Statute of the International Criminal Court, ICC dirancang untuk membantu sistem yudisial nasional yang telah ada,
namun pengadilan ini dapat melaksanakan yurisdiksinya bila pengadilan negara
tidak mau atau tidak mampu untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan
seperti di atas, dan menjadi "pengadilan usaha terakhir",
meninggalkan kewajiban utama untuk menjalankan yurisdiksi terhadap kriminal
tertuduh kepada negara individual.
Dalam hal
ratifikasi, Amerika Serikat pada kenyataannya tidak meratifikasi Statuta ini,
tapi dalam perang Irak hingga pengadilan terhadap Saddam Husein Amerika Serikat
menggunakan kekuasaannya sendiri, dan sekalipun ICC tidak berperan sama sekali
dalam hal ini. Ada satu hal kontras yang menjadikan segala lembaga di dunia ini
seakan-akan tunduk di bawah kekuasaan Amerika Serikat.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja ketentuan-ketentuan dalam ICC dan segala hal yang
menyangkut ICC?
2.
Efektifkah ICC sebagai sebuah treaty apabila negara superpower
seperti Amerika Serikat maupun Israel saja masih bisa melanggar ketentuan treaty tersebut dengan tenang?
3.
Apa yang harus dilakukan oleh ICC maupun negara-negara
pendukungnya untuk menjamin dan menjaga eksistensi ICC tersebut?
4.
Apa saja kelemahan yang dimiliki ICC?
PEMBAHASAN
ICC berada di Den Haag, Belanda. Namun demikian, jika
diperlukan ICC dapat dipindah keberadaannya ke negara lain. Negara-negara yang
mengikatkan diri pada ICC akan menentukan anggaran dan ikut membayar iuran
untuk ICC. Pendanaan ICC juga didapat dari PBB khususnya ketika ICC
menginvestigasi dan menuntut kasus yang diserahkan kepada ICC oleh Dewan
Keamanan (DK) PBB.
DK PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan
investigasi dan penuntutan. DK PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan
investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika DK merasakan
bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh ICC saling tumpang tindih dengan
tanggung jawab DK PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Ketentuan ini
akan membuat setiap anggota tetap DK PBB memiliki kesulitan untuk memanipulasi
ICC.
Statuta Roma juga memberikan rambu-rambu yang sangat
ketat untuk menghindari terjadinya masuknya kasus-kasus yang sarat dengan
motivasi politik. Sebagai contoh semua dakwaan akan memerlukan konfirmasi dari
hakim-hakim pra-peradilan. Hakim-hakim ini akan memeriksa bukti-bukti pendukung
dakwaan sebelum mengumumkannya kepada publik. Dengan demikian terdakwa dan
negara-negara yang memiliki perhatian terhadap kasus ini akan memiliki
kesempatan untuk melakukan perlawanan terhadap dakwaan dalam proses dengar
pendapat di depan sidang pra-peradilan. Sebagai tambahan, setiap investigasi
yang dilakukan oleh jaksa penuntut harus mendapat persetujuan dari hakim-hakim
pra-peradilan.
Setiap hakim dan jaksa penuntut akan melewati proses
penelitian yang cermat dan tepat sebelum mereka terpilih dan diangkat di
pengadilan ini. Statuta Roma memberikan kriteria yang ketat untuk melakukan
seleksi terhadap jaksa dan hakim, persyaratan tersebut meliputi keahlian dan
reputasi, karakter moral, dan independensi yang tidak tercela. Mereka yang
terpilih selama masa jabatannya akan dilarang untuk terlibat dalam berbagai
aktivitas yang akan dapat mempengaruhi indepensinya. Tentu saja Statuta Roma
memberikan ketentuan bahwa para hakim dan jaksa yang menyalahgunakan
kewenangannya akan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Setiap negara yang
ikut serta meratifikasi ICC memiliki hak menominasikan orang-orangnya untuk
dipilih sebagai hakim dan jaksa. Hanya hakim dan jaksa yang bertugas di
tingkatan tertinggi di tiap negara yang dapat dinominasikan di ICC.
Namun demikian keberadaan ICC tidak luput dari
permasalahan. Sebagaimana yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini,
terdapat 7 negara yang menolak untuk menandatangani Statuta Roma salah satunya
AS. Ironinya, ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat
kemanusiaan, AS, yang distigma sebagai police of the world malah menyatakan
tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan AS bahwa ICC
telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat,
dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya. Apa yang dilakukan oleh
Pemerintah AS ini benar-benar mengejutkan karena hal ini sangat berlawanan
terhadap dukungan terhadap pembentukan ICC oleh hampir semua sekutu dekat AS.
Permusuhan Pemerintahan Bush terhadap ICC meningkat secara dramatis pada tahun
2002. Perhatian utama yang menjadi alsan pemerintah Bush menolak ICC
berhubungan dengan kemungkinan yurisdiksi ICC dapat dipakai sebagai alat untuk
melakukan investigasi dan penuntutan yang bermotif politik terhadap personil
militer dan pejabat politik AS.
Pada tanggal 6 Mei 2002 sebuah manuver diplomatik yang
belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Bush secara efektif mencabut tanda
tangan AS pada treaty yang telah
dilakukan sebelumnya. Pada saat itu Duta Besar AS yang berkuasa penuh untuk
masalah-masalah kejahatan perang, Pierre-Richard Prosper menyatakan bahwa
pemerintah AS tidak ingin “berperang” melawan ICC. Namun sebenarnya pernyataan
ini sama sekali tidak benar. Penolakan untuk meratifikasi treaty yang dilakukan oleh AS telah membuka jalan yang amat
komprehensif bagi pemerintah AS untuk mengurangi peran ICC.
Akibat dari penarikan diri ini pemerintahan Bush
berikutnya melakukan langkah-langkah yang sangat tidak simpatik yang
menunjukkan arogansi AS terhadap komunitas international. Langkah pertama yang
dilakukan adalah pemerintah Bush melakukan negosiasi dengan DK PBB untuk
memberikan pengecualian terhadap personel AS yang menjadi bagian dari operasi
pasukan penjaga perdamaian PBB. Namun negosiasi ini pada bulan Mei 2002 gagal
untuk mendapat pengecualian terhadap pasukan penjaga perdamaian di Timor Timur.
Akibat dari hal itu pada bulan Juni AS melakukan veto terhadap rencana
perpanjangan pasukan penjaga perdamaian untuk Bosnia-Herzegovina kecuali jika
DK PBB memberikan pengecualian yang lengkap terhadap personel AS dari
pemberlakuan ICC. Akibat dari permintaan ini hubungan AS dengan negara-negara
sekutunya sempat tegang untuk beberapa waktu sampai akhirnya DK PBB menyepakati
untuk memberi pengecualian terhadap personil AS yang terlibat dalam operasi
pasukan penjaga perdamaian PBB untuk waktu satu tahun. Pengecualian ini
diberikan dengan sangat terbatas dan DK PBB telah menunjukkan keinginannya
untuk mengevaluasi pengecualian ini pada tanggal 30 Juni tahun depan.
Kedua, Pemerintah AS telah mengajukan permintaan
kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan “kerjasama” bilateral
untuk tidak menyerahkan warga negara AS kepada ICC. Tujuan dari “kerjasama” ini
(kerjasama impunity atau yang lebih dikenal sebagai persetujuan pasal 98) adalh
untuk menghindarkan personel AS dari yurisdiksi ICC. Selain itu mereka juga
mengkampanyekan dua tingkatan aturan main untuk tindak pidana internasional
yakni yang berlaku untuk warga negara AS dan yang berlaku bagi warga ngara di
luar AS. Hal ini tentu saja sangat menggelikan karena pemerintah AS melakukan
segala cara untuk menghindari warga negaranya diserahkan kepada ICC sementara
AS sangat gigih untuk meminta negara-negara yang dianggap oleh AS telah
melakukan tindakan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi seperti Human Right Watch International
memprotes keras sikap AS ini dengan meminta negara-negara di seluruh dunia
untuk menolak bekerja sama dengan AS dalam hal ini.
Ketiga, Kongres AS telah memberi dukungan kepada
pemerintah AS atas usahanya dalam isu ini dengan mengesahkan UU Perlindungan
Pegawai Pemerintah AS (American Service member Protection Act, ASPA) yang
kemudian ditandatanganioleh Presiden Bush pada tanggal 3 Agustus 2002. Isi yang
paling utama dari Undang-undang yang sangat anti-ICC ini adalah:
a. Larangan bagi pemerintah AS untuk bekerja sama dengan
ICC;
b. Melakukan “invasi” terhadap ketentuan-ketentuan Den
Haag dengan memberikan kekuasaan kepada Presiden AS untuk menggunakan segala
cara yang diperlukan untuk membebaskan personel AS dari tahanan atau penjara
ICC;
c. Memberikan hukuman kepada negara-negara yang bergabung
dalam ICC, menolak untuk memberikan bantuan militer kepada negara-negara yang
ikut serta dalam ICC (kecuali terhadap negara-negara sekutu utama AS);
d. Larangan bagi personel AS untuk berpartisipasi dalam
misi penjaga perdamaian bila tidak ada garansi atau jaminan bahwa kekebalan
terhadap ketentuan dalam ICC diberikan kepada mereka.
Ketentuan-ketentuan dalam ASPA ini benar-benar
memberikan bukti bahwa pemerintah AS telah melakukan sebuah tindakan yang
bertentangan dengan kehendak dunia internasional untuk menyeret pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan dari manapun ke depan pengadilan pidana internasional
yang permanen. Meskipun demikian, dengan dukungan komunitas internasional yang
melihat arti penting dari ICC ini, ICC tetap mulai diberlakukan secara efektif
pada 1 Juli 2002.
Dan tak dapat dipungkiri bahwa
berlakunya ICC ini juga dapat mengalami hambatan yang sangat berat dikarenakan
ICC tidak mendapat dukungan politik yang kuat dari AS. Sebagaimana yang
diuraikan sebelumnya bahwa AS dengan berbagai alasan menolak berlakunya ICC.
Seperti yang kita ketahui posisi AS yang sangat dominan dalam politik internasional
akan dapat menghambat efektivitas kerja dari ICC.
Dan
kemudian, pada 15 Januari 2009, pernyataan mengejutkan datang dari
International Criminal Court (ICC) di Den Haag. Juru Bicara ICC, Nicola
Fletcher mengatakan, bahwa ICC tidak punya kewenangan hukum untuk menyelidiki
dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel dalam agresinya ke Jalur Gaza.
Fletcher
mengungkapkan hal tersebut setelah organisasi hak asasi Palestina meminta ICC
untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan Israel di Gaza. Dalam
pernyataannya, ICC mengatakan bahwa kewenangan hukum pengadilan hanya terbatas
pada kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang
dilakukan di sebuah wilayah atau dilakukan oleh sebuah negara yang menjadi
anggota ICC, sementara Israel bukan anggota ICC.
Menurut
Fletcher, ICC bisa melakukan penyelidikan atas kejahatan perang yang dilakukan
Israel hanya jika pihak Israel bersedia menerima kewenangan hukum ICC atau jika
ICC mendapat rujukan dari Dewan Keamanan PBB agar Israel diseret ke pengadilan.
Saat
ini ada 108 negara yang terdaftar sebagai anggota ICC. Merekalah negara-negara
yang ikut menandatangani Roma Statue yang menjadi dasar pembentukan pengadilan
kriminal internasional yang berbasi di The Hague, Belanda pada tahun 2000. Pengadilan
ini menyelidiki dan menjatuhkan sanksi atas kasus-kasus kejahatan perang,
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Israel
dan AS tidak ikut menandatangani kesepakatan itu. Padahal saat ini, AS dan
Israel adalah dua negara yang paling banyak melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang. Lalu di mana nilai eksistensi suatu keadilan
yang diinginkan jika hal seperti ini saja masih terjadi? Dan bisa saja ICC akan
kehilangan muka jika ia saja tak mampu melindungi negara anggotanya dari
sergapan Israel.
Selain itu, terdapat beberapa
kelemahan bagi keberadaan ICC ini. Salah satunya yang paling menonjol adalah
tidak diakuinya asas retroaktif dalam
penyelesaian kasus-kasus kejahatan ini. Artinya, segala kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002 tidak akan menjadi yurisdiksi ICC.
Para pelaku kejahatan kemanusiaan sebelum 1 Juli 2002 akan tetap menikmati
kebebasan tanpa harus mendapat hukuman atas segala perbuatannya. Kelemahan lain
dari ICC adalah bahwa mereka berlaku sebagai the last of the last resort bagi penuntutan terhadap pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan. Artinya mereka masih menyerahkan tanggung jawab
sepenuhnya kepada negara untuk melakukan penuntutan bagi para pelaku kejahatan
terhadap kemanusiaan. Padahal jika seseorang yang disangka sebagai pelaku
kejahatan mampu memegang kekuasaan di negaranya, maka akan mustahil penuntutan
terhadap dirinya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum di negara tersebut.
PENUTUP
I.
Kesimpulan
International
Criminal Court atau Peradilan Kriminal International akan menjadi sistem
peradilan pidana yang permanent yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002
dan akan mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, serta
kejahatan perang. ICC akan menghindari pembentukan berulang-ulang pengadilan
kriminal internasional ad-hoc seperti yang selama ini dibentuk untuk Yugoslavia
dan Rwanda. Dan menyangkut masalah “ketakutan” ICC bahkan dunia akan kkuasaan
AS dan Israel, meskipun demikian dengan dukungan mayoritas Negara-negara di
dunia kita harapkan ICC tetap dapat memulai tugasnya untuk menciptakan keadilan
di seluruh dunia.
II.
Saran
Dari berbagai
pembahasan akan rumusan masalah hingga kesimpulan di atas, maka ada beberapa
saran dari penulis, yaitu:
- Bahwa Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah yang lebih strategis untuk menghentikan perang dan mengadili kejahatan agresi Amerika Serikat dengan meratifikasi ICC.
- Bahwa Pemerintah Indonesia harus mendukung segala bentuk upaya untuk mendorong penegakan hukum secara internasional terhadap implikasi yang ditimbulkan termasuk mendorong adanya Mahkamah Pidana Internsional.
- Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas menolak/tidak mengakui bentuk-bentuk tindakan serupa, baik yang telah dilakukan oleh Amerika atau akan dilakukan oleh pihak manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar harap diisi, baik buruk komentar anda membantu kami untu evaluasi ke depannya. :)